Fenomena ChatGPT Gaya Studio Ghibli Viral di Indonesia: Antara Kreativitas dan Kontroversi

ChatGPT Ghibli

Dalam beberapa minggu terakhir, jagat maya Indonesia diramaikan oleh tren unik yang memadukan kecanggihan teknologi kecerdasan buatan (AI) dengan sentuhan estetika khas animasi Jepang. Kombinasi antara ChatGPT—chatbot AI populer buatan OpenAI—dan gaya visual Studio Ghibli berhasil mencuri perhatian netizen. Fenomena ini menjadi viral terutama di platform X (sebelumnya Twitter), TikTok, dan Reddit setelah beredarnya prompt yang memungkinkan pengguna menciptakan cerita dan ilustrasi ala Hayao Miyazaki secara instan.

Tren ini diawali dengan beredarnya prompt seperti: “Buat cerita pendek tentang seorang gadis penyihir yang hidup di hutan ajaib dengan gaya Studio Ghibli”. Hasilnya? Tak hanya cerita imajinatif yang menyerupai film-film Ghibli seperti Kiki's Delivery Service atau My Neighbor Totoro, tetapi juga visualisasi karakter anime yang lembut, magis, dan emosional—tercetak otomatis lewat DALL·E 3, generator gambar berbasis AI dari OpenAI.

Mengapa Gaya Ghibli Jadi Favorit?

Studio Ghibli dikenal sebagai rumah produksi animasi legendaris asal Jepang, dengan sentuhan visual dan cerita yang menyeimbangkan keindahan, kedalaman filosofis, dan nuansa lingkungan hidup. Film-film seperti Spirited Away, Princess Mononoke, dan Howl’s Moving Castle menjadi ikon global karena menggabungkan cerita personal dengan pesan sosial dan spiritual.

Di sinilah AI seperti ChatGPT dan DALL·E mendapat tempat. Dengan prompt yang tepat, pengguna dapat menghidupkan dunia fiksi yang penuh makna, karakter menggemaskan, dan latar dunia fantastik yang terasa hidup—tanpa harus memiliki keterampilan menggambar atau menulis tingkat tinggi.

Contoh Prompt Populer:

  • “Tuliskan cerita tentang bocah lelaki yang bersahabat dengan roh hutan, bernuansa Ghibli.”

  • “Deskripsikan desa terapung yang tersembunyi di balik kabut, dengan gaya narasi ala Studio Ghibli.”

  • “Buat ilustrasi seorang gadis bertopi jerami yang duduk bersama makhluk magis di ladang bunga liar.”

Dari prompt ini, terciptalah gambar-gambar yang terlihat seperti lukisan tangan, lengkap dengan warna pastel, cahaya alami, dan suasana yang melankolis—ciri khas Ghibli.

Dampak Positif: Mendorong Kreativitas Generasi Muda

Tren ini mendapat banyak dukungan dari komunitas kreatif. Banyak pengguna merasa terbantu untuk mengekspresikan ide-ide mereka yang sebelumnya sulit direalisasikan karena keterbatasan teknis. Generasi muda yang tumbuh dengan film animasi Ghibli kini bisa menciptakan dunia impian mereka sendiri.

“Sekarang saya bisa buat cerita dan karakter seperti Totoro versi saya sendiri, hanya dalam beberapa menit,” tulis seorang pengguna TikTok dengan tagar #ChatGPTGhibli yang telah ditonton lebih dari 500 ribu kali.

Beberapa guru bahkan memanfaatkan tren ini sebagai alat bantu edukasi kreatif di kelas—mengajak siswa membuat cerita dengan bimbingan AI, lalu mendiskusikan pesan moral di balik narasi tersebut.

Sorotan Negatif: Isu Orisinalitas dan Hak Cipta

Namun, tidak semua pihak menyambut tren ini dengan antusias. Sejumlah seniman digital dan animator profesional menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap penyalahgunaan AI, terutama dalam meniru gaya visual yang telah dipatenkan atau diakui sebagai warisan kreatif seseorang.

“Ini bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi mendorong kreativitas, tapi di sisi lain mengikis nilai orisinalitas dan etika berkarya,” ujar seorang ilustrator senior dalam forum Kompas Tekno.

Bahkan muncul perdebatan tentang apakah penggunaan istilah “Ghibli-style” dalam prompt dapat dianggap sebagai pelanggaran hak kekayaan intelektual, karena secara tidak langsung “meminjam” gaya yang sangat spesifik dan ikonik.

Tips Aman & Etis Menggunakan AI untuk Konten Ghibli-Style

Agar tetap aman dan etis saat membuat konten gaya Ghibli menggunakan AI, pakar dari DQLab dan komunitas AI Art Indonesia menyarankan beberapa hal berikut:

  1. Gunakan Deskripsi Unik – Alih-alih menyebut "gaya Ghibli", deskripsikan gaya secara tidak langsung, misalnya: “warna pastel lembut”, “latar alam pedesaan yang magis”, atau “karakter dengan ekspresi emosional dan mata besar”.

  2. Kombinasikan AI dengan Sentuhan Manual – Hasil dari DALL·E bisa diedit ulang dengan software desain seperti Photoshop atau Procreate untuk menghindari kesan 100% buatan AI.

  3. Berikan Kredit Jika Terinspirasi – Jika hasil karya terinspirasi dari film tertentu, sebutkan sebagai bentuk apresiasi, bukan plagiarisme.

  4. Hindari Komersialisasi Langsung – Jangan menjual karya AI yang meniru gaya tertentu (seperti Ghibli) secara komersial tanpa izin atau modifikasi signifikan.

Kesimpulan: Kreativitas vs Batas Etika

Fenomena ChatGPT x Ghibli adalah cermin dari zaman di mana batas antara teknologi dan seni semakin kabur. Ini bisa menjadi sarana eksplorasi kreativitas yang luar biasa, terutama bagi generasi muda yang tumbuh di era digital. Namun di saat yang sama, tetap penting untuk menjaga integritas dalam berkarya dan menghargai hak cipta kreator asli.

AI bukanlah pengganti manusia dalam berkarya, melainkan alat bantu yang, jika digunakan dengan bijak, bisa menjadi jembatan menuju karya yang lebih inklusif, inspiratif, dan bertanggung jawab.

Dengan memahami batasan dan memanfaatkan potensi AI secara etis, tren seperti ini bisa terus berkembang tanpa harus mengorbankan prinsip keaslian.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel